Open House MHTI Malang Raya: Intelektual Bangkit Bangun Peradaban Islam

Peserta antusias bertanyaMalang– Sabtu (25/1), Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (MHTI) DPD II Malang Raya menggelar acara Open House Hizbut Tahrir. Tema yang diangkat dalam acara ini adalah “Peran dan Tanggung Jawab Intelektual Muslim dalam Membangun Peradaban Islam”. Acara yang bertempat di Rumah Makan Ringin Asri Malang ini dihadiri oleh puluhan intelektual Muslim se-Malang Raya, yang terdiri dari dosen dan mahasiswa Pascasarjana. Acara ini diharapkan mampu menyatukan potensi intelektual Muslim serta melanjutkan semangat perubahan yang telah didapatkan dari forum Jakarta International Conference of Muslim Intellectuals (JICMI), yang diselenggarakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia pada 14-15 Desember 2013 lalu.

Acara Open House ini diawali dengan pembukaan oleh Ketua Lajnah Khusus Intelektual (LKI) DPD II Malang, Ella Saparianti, S.TP, M.P. Dalam sambutannya, dosen Universitas Brawijaya ini mengingatkan akan pentingnya kontribusi intelektual dalam membangun generasi masa depan. Baca lebih lanjut

Pesan dari seorang Ibu, yang Kutemui di Samping Sakri

Aku ingin bercerita,
Tentang pertemuanku dengan seorang ibu, orang tua dari mahasiswa baru (maba) Universitas Brawijaya (UB),
Aku bertemu dengannya saat sambut maba hari Selasa (12/6) lalu.
Penampilannya sederhana, layaknya seorang ibu rumah tangga biasa.
Memakai kerudung, baju lengan panjang, dan celana.
Ia rela ijin tak masuk kerja, dan jauh-jauh datang dari Surabaya ke Malang,
Demi mengantarkan putri bungsunya daftar ulang di UB.

Kami pun bercengkrama.
Awalnya, kuajukan pertanyaan basa-basi kepadanya,
Tentang ungkapan hati, dan harapan dari pendidikan tinggi sang putri.
Ibu itu tak sedikitpun keberatan untuk menjawabnya,
Membuatku semakin bersemangat untuk menambah pertanyaan.
Hingga obrolan itupun berkembang menjadi diskusi hangat seputar problematika bangsa.

Menurutnya, kesalahan bangsa ini bersumber dari sistem dan orang-orangnya.
Para wakil rakyat lebih bangga menggunakan hukum buatan manusia,
Yang mengukur kebenaran dari suara mayoritas,
Padahal suara tersebut mudah saja direkayasa dengan uang.
Ibu itu mulai mengungkapkan kekecewaannya.
Indonesia ini dihuni oleh mayoritas umat Islam,
Tapi mereka tak lagi memegang teguh agamanya,
Islam KTP, begitu ia mengibaratkan.
Orang-orang sekarang hanya berpikir pragmatis,
Maunya enak tapi tak mau berusaha dengan benar. Baca lebih lanjut

Generasi Cemerlang dari Peradaban Gemilang

Bocah kecil itu sedang meminta-minta di bawah terik matahari. Ia dan beberapa temannya mulai mendatangi satu per satu kendaraan yang berhenti di lampu merah. Wajahnya sumringah, seperti tak ada beban. Semua itu ia lakukan demi terpenuhinya uang receh di kantongnya yang sudah usang. Uang yang jumlahnya tak seberapa itulah yang menjadi penentu hidupnya hari ini.

Plat merah pun datang. Dengan penuh harap bocah kecil itu menghampiri sedan hitam mengkilap yang terhenti di sampingnya. Berharap kan mendapatkan tambahan rezeki untuk makan siang adik. Namun, apa yang terjadi? Kaca gelap mobil itu tak sedikitpun bergeser. Sang bocah terus menunggu dengan sabar. Berharap ada yang membukakan kaca untuk menyodorkan kepingan uang. Bocah itu terus berdiri hingga lampu hijau menyala, dan plat merah itu berlalu begitu saja tanpa meninggalkan sekeping uang pun untuk sang bocah.

Begitulah ironi yang terjadi di negara ini. Bocah kecil yang tak mampu mengenyam pendidikan karena keterbatasan ekonomi, terpaksa menjadi pengemis di jalanan. Ia harus berpanas-panasan membanting tulang demi mendapatkan recehan uang. Di saat yang sama, ada seorang pejabat pemerintahan bermobil mengkilap, yang telah merasakan nikmatnya pendidikan hingga yang sangat tinggi sekalipun. Rentetan gelar pun tersemat di antara namanya.

Namun siapa sangka, ketika dihadapkan pada anak-anak jalanan, si pejabat hanya bisa berkata, ”Dasar anak-anak malas! Bisanya cuma minta-minta, tidak mau bekerja!”. Dan ucapan itu ternyata tak pernah diiringi dengan upaya serta langkah nyata untuk memperbaiki nasib anak bangsa yang dikatakan ‘malas’ tersebut. Sekali lagi, padahal si pejabat adalah orang yang berpendidikan tinggi. Lalu apa gunanya gelar sarjana Ilmu Sosial, sarjana Ekonomi, sarjana Hukum, sarjana Politik, sarjana Kedokteran, jika ternyata tak sedikitpun berguna bagi perbaikan bangsa? Baca lebih lanjut

Indahnya Jalan Dakwah

“Dakwah adalah napasku. Jika sehari saja kulalui tanpa dakwah, maka aku akan gelisah. Bagaikan dibungkam napas ini. Sesak, dan aku pun berontak!”

Terbuka itu Melegakan

Memang benar jika dikatakan bahwa mabda (ideologi) itu akan selalu menuntut pengembannya untuk menyebarkannya. Apalagi jika mabda tersebut adalah mabda kebenaran, yang berasal dari sang Maha Benar. Itulah Islam. Begitupun aku. Sejak mengkaji ilmu agama, aku selalu ingin menyampaikan apa yang aku dapatkan tersebut kepada orang lain, terutama orang-orang yang kusayangi. Ayah, Ibu, Kakak, mereka lah orang-orang yang pertama kali harus rela meluangkan waktunya untuk mendengarkan ‘ocehan’ Islami dariku.

“Ibu, adik jadi aneh gara-gara ikut ngaji,” teriak kakak mengadu pada ibu, setelah berdebat denganku tentang pacaran.

“Sudahlah, pakai celana saja biar ngga ribet saat dibonceng naik motor,” bentak Ayah jengkel.

“Para tetangga membicarakan tentang pakaianmu,”  keluh ibu dengan wajah murung.

Itulah berbagai respon keluargaku di masa-masa awalku ngaji. Namun, semua itu tak menyurutkan semangatku untuk terus mengkaji ilmu Allah. Kenapa? Karena aku yakin, walaupun mereka keluargaku tetapi mereka tidak akan mampu membelaku di hadapan Allah nanti. Karena kewajiban menuntut ilmu agama adalah fardhu ‘ain, maka pertanggungjawabannya tidak dapat diwakilkan, bahkan oleh orang tua sekalipun.

Bagaimanapun juga, keluarga berhak mengetahui segala aktivitas kita. Ketika ada masalah atau cacian yang menimpa kita, maka pastikan keluarga kitalah yang menjadi benteng pertama yang membela kita. Pastikan keluarga kita menjadi penyokong dakwah ini. Intinya adalah keterbukaan terhadap keluarga. Semua itu sudah kubuktikan, kawan! Baca lebih lanjut

Teriakan Dalam Diam

Realita Kampus yang Semakin Mahal

Mari kawan, saya akan mengajak kalian berjalan menyusuri kampus biru Brawijaya. Orang biasa menyebutnya UB, singkatan dari Universitas Brawijaya. Subhanallah, ini merupakan salah satu kampus besar di kota pendidikan Malang. Tarif yang dikenakan bagi saya (mahasiswi FISIP) adalah 2,8 juta rupiah per tahun. Ada fasilitas serba gratis di sini. Hotspot, kamar mandi dan WC, pendingin ruangan (AC), taman, gazebo, masjid, dan lain-lain. Orangtua saya bahkan dengan sangat rela menyisihkan sebagian besar gaji mereka hanya untuk membiayai pendidikan saya di kampus ini. Saya pun semakin mantap untuk menjadi bagian keluarga di kampus biru ini.

Suatu hari, dua sosok pahlawan saya ini diundang oleh UB untuk menghadiri pertemuan. Dasar kampus kapitalis, yang namanya pertemuan pasti berujung duit. Benar saja, pertemuan itu adalah dalam rangka untuk menetapkan uang sumbangan orangtua. Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang, akhirnya disepakati nominal uang sumbangan itu adalah sebesar 1,5 juta rupiah. Ayah saya pun protes, dan membandingkannya dengan kampus kakak saya (yang notabene greatnya sangat jauh di atas UB) di mana hanya menetapkan sumbangan sebesar 200 ribu rupiah. Namun, tak ada tanggapan dari para petinggi itu.

Pendidikan mahal? Ini bukan berita baru lagi. Tapi paling tidak, guru seperti kedua orangtua saya sangat menyadari bahwa sangat tidak layak memahalkan pendidikan. Jebakan sistem, lebih tepatnya demikian. Kurikulum asing banyak dicekokkan (baca: dimasukkan secara paksa) ke dalam otak mahasiswa. Sudah bayar mahal, diracuni pemikiran asing pula? Lalu apa untungnya kuliah tinggi? Jika orangtua saya berpikiran seperti itu, niscaya saya tidak akan berada di kampus UB ini. Baca lebih lanjut

Pendidikan dalam Perspektif Islam

“Pendidikan kita (saat ini) sedang dikomersilkan!”

Saya berani mengatakan hal ini karena memang demikian adanya. Silakan protes jika tidak setuju. (Tapi saya harap tidak ada yang protes). Sebagai umat Islam, sudah seharusnya kita menjadikan aturan Islam sebagai standar perbuatan. Lantas, adakah sistem pendidikan dalam Islam?? Bagaimana Islam mengatur pendidikan?? Mari kita simak ringkasan buku Sistem Pendidikan Islam berikut ini.

*****

Sistem Pendidikan Islam

Kurikulum adalah perangkat mata kuliah mengenai bidang keahlian khusus. Kurikulum mencakup rancangan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam ilmu pengetahuan serta metode yang digunakan untuk menyampaikan ilmu pengetahuan tersebut. Dalam Islam, kurikulum pendidikan harus berdasarkan aqidah Islam. Rosulullah SAW selalu menjadikan aqidah sebagai landasan untuk mendidik kaum Muslim. Contoh, pada saat terjadinya gerhana matahari yang dikaitkan dengan kematian anaknya, Ibrahim. Rosulullah SAW kemudian menjelaskan dengan sabdanya:

“Sesungguhnya gerhana matahari dan bulan tidak terjadi karena kematian atau kelahiran seseorang, akan tetapi keduanya termasuk tanda-tanda kekuasaan Allah, dengannya Allah memperingatkan hamba-hamba-Nya. Apabila kalian melihat kejadian yang demikian, maka shalatlah dan berdoa, sampai keadaan yang kalian lihat itu kembali seperti sedia kala.” (HR.Bukhari dan Nasa’i dari Abi Bakrah) Baca lebih lanjut

Bunuh Sejenak Sumpah Pemuda!

Tanggal 28 Oktober, para pemuda boleh berbangga. Sejarah telah mengukir hari ini sebagai hari Sumpah Pemuda. Hari dimana para pemuda berserikat menuntut kemerdekaan Indonesia atas penjajahan asing. Gebrakan yang dilakukan oleh para pemuda bangsa pada 82 tahun lalu, telah berhasil menorehkan rumusan sumpah pemuda. Tepat 28 Oktober 1928, ribuan pemuda memadati sebuah bangunan di jalan Kramat Raya 106 untuk membacakan Sumpah Pemuda.

Rumusan sumpah pemuda yang merupakan hasil Kongres Pemuda II tersebut berisi tiga poin, antara lain sebagai berikut[1] :

  1. Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
  2. Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
  3. Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

Ikatan nasionalisme telah menggerakkan para pemuda kala itu untuk bersatu demi merebut kemerdekaan bangsa Indonesia. Perang fisik yang terjadi di tengah-tengah kondisi bangsa yang terjajah, rupanya mampu memberikan suntikan semangat dalam diri para pemuda. Namun sayangnya, semangat itu hanyalah semangat semu. Mereka bersatu karena terikat oleh semangat nasionalisme. Ikatan satu tanah air, satu bangsa, serta satu bahasa. Ikatan semu yang hanya muncul saat adanya serangan dari luar yang mengancam mereka. Pemuda merasa terancam dengan serangan bertubi-tubi yang dilakukan oleh penjajah. Hal inilah yang akhirnya menggerakkan mereka untuk melakukan perlawanan. Bersatu (hanya) saat dijajah secara fisik. Namun, ketika penjajahan fisik itu telah berakhir, semangat nasionalisme pun turut surut. Sehingga salah besar jika kita berharap pada ikatan nasionalisme. Ikatan semu, mudah hilang, dan tidak shahih (benar). Baca lebih lanjut

Menjadi Muslim Berideologi Islam

Siang itu, terlihat beberapa ikhwan dan akhwat berkumpul di dalam ruangan kecil bersekat tirai. Mereka terlihat sedang membicarakan sesuatu yang serius. Tiba-tiba salah seorang ikhwan mengucapkan statement yang mengejutkan. “Tidak usah terlalu menonjolkan sisi Islamnya, lebih baik berikan alasan-alasan yang lebih mudah diterima, misalnya Nasionalisme, agar mereka tidak takut dengan kita,” demikian diungkapkan oleh salah satu anggota Lembaga Dakwah Kampus dari balik tirai.

Ironis, melihat realita pemikiran para aktivis dakwah kampus saat ini. Lembaga dakwah kampus yang seharusnya merupakan corong dalam penyeruan ide-ide Islam, kini telah buntu.  Dibuntu oleh pemikiran kolot para aktivisnya yang telah terjebak dalam pragmatisme dan ketakutan ditinggalkan pengikut. Bagaimana mungkin kata-kata tersebut bisa keluar dari mulut seorang da’i. Orang yang tugasnya menyampaikan Islam, namun malah melarang rekannya mengatakan kebenaran Islam. Parahnya lagi, solusi pengganti yang diberikannya adalah ide yang lebih buruk dari Islam, yaitu Nasionalisme. Baca lebih lanjut

Buah Busuk dari Penerapan Sistem Busuk

Pengadilan adalah sebuah lembaga yang diharapkan dapat menegakkan keadilan di negeri ini. Namun, sepertinya bukan merupakan rahasia umum lagi bahwa ternyata lembaga keadilan ini justru menempati angka korupsi yang cukup tinggi. Hal ini bahkan tampak pada kasus yang tergolong kecil sekalipun, misalnya sidang tilang. Seperti yang terjadi pada Rabu (15/9), saat berlangsung sidang tilang bagi para pengendara kendaraan bermotor yang terkena semprit polisi. Sejak pagi, Pengadilan Negeri Kota Kediri telah dipadati oleh para terdakwa tilang. Sidang yang dijadwalkan dimulai pukul 8.00 wib, namun hingga pukul 9.00 wib belum juga ada tanda-tanda akan dimulai.

Para korban tilang pun tampak berkerumun menunggu dimulainya sidang. “Pak, sidangnya kok belum dimulai ya?” tanya salah seorang laki-laki kepada petugas pengadilan yang berdiri di depan pintu kantor. “Belum mas, jaksanya belum datang,” ungkapnya. “Daripada nunggu lama, saya nitip aja deh pak,” ujar korban tilang tersebut sambil sedikit berbisik kepada petugas berseragam kecokelatan itu. Petugas itupun segera mengarahkan laki-laki tersebut ke pos satpam. Kemudian terlihat kompromi antara korban tilang dengan satpam, yang berlangsung di dalam pos kecil di sebelah gerbang. Beberapa lembar uang puluh ribuan pun dengan cepat berpindah tangan. Tak lama kemudian, STNK yang sudah dua minggu disita diberikan oleh satpam kepada sang empunya. Akhirnya karena tidak betah berpanas-panasan menunggu sidang yang tak kunjung mulai, sebagian besar para korban tilang pun memutuskan untuk ‘nitip pak satpam’ saja. Baca lebih lanjut

Dahsyatnya Kekuatan Ruhiyah

Tidak pernah terpikir, bahkan tidak logis mungkin. Seorang rela meninggalkan kesenangan dunia, dan (katanya) hanya untuk mencari bekal akhirat. Seluruh harta, tenaga, pikiran, dan waktu yang dimilikinya dihabiskan untuk sesuatu yang hasilnya tidak tampak sekarang. Apa itu? Pahala, ridha Allah, surga. “Ah, mimpi aja tuh! Melakukan sesuatu yang sia-sia itu,” pikirku dulu.

Di jaman Kapitalisme gini, apa bisa kita berharap dari sesuatu yang tidak ada hasilnya? Semua orang mencari-cari uang untuk bertahan hidup. Semua orang mengharapkan keuntungan untuk menumpuk harta. Nah, ini malah ada orang yang membagi-bagikan uang, menyedekahkan harta. Dan alasannya pun sangat tidak logis, untuk mendapatkan balasan surga. Apa pula itu? Surga itu kan tidak tampak. Mana bisa dia merubah garis kehidupan kita? Ada-ada saja.

Coba perhatikan, setiap kelulusan perguruan tinggi, lapangan-lapangan pekerjaan selalu dipenuhi oleh para sarjana yang mencari kerja. Mereka rela berdesak-desakkan, hingga berpanas-panasan, demi mendapatkan pekerjaan. Inilah fakta, bagaimana orang berebut pekerjaan. Sudah bisa ditebak, orientasi mereka adalah untuk mendapatkan uang. Uang, uang, dan uang! Karena itulah, sangat aneh jika ada orang yang justru menghabiskan hartanya untuk “tabungan akhirat”. Baca lebih lanjut

Muallaf Perjuangkan Negara Islam

[Malang, 11 Desember 2009]

Siang itu, di bawah terik matahari dan panasnya kota Jakarta, di depan ribuan mahasiswa Islam Indonesia, tampak seorang berdiri tegak membawa bendera hitam bertuliskan “La ilaha illa Allah Muhammad Rosulullah”. Laki-laki yang mengenakan batik cokelat tersebut berkali-kali meneriakkan takbir.

“Ketika sudah tujuh tahun yang lalu saya masuk Islam, saya sudah berhenti, saya menyerah melihat dengan mata kepala saya. Jika seandainya seluruh orang di negeri ini mereka tidak mau peduli dengan Islam, dan seandainya orang di negeri ini berkata bahwa khilafah adalah perjuangan yang impian, maka saya akan tetap percaya karena itu adalah bisyarah Rosulullah, yang pasti akan terjadi,” demikian sepenggal orasinya pada Kongres Mahasiswa Islam Indonesia, di halaman Basket Hall Senayan, 18 Oktober lalu.

Felix Siauw (25) adalah seorang inspirator Islam. Di balik semangat perjuangan Islam yang dimilikinya, siapa sangka bahwa ternyata Felix baru tujuh tahun menganut agama Islam. “Saya masuk Islam sejak tahun 2002, bertepatan dengan kuliah semester tiga di IPB,” jelasnya. Kisah Felix berawal dari sebuah ketidakpuasan terhadap konsep Tuhan yang diajarkan dalam agama yang dianutnya dulu. Baca lebih lanjut