“Dakwah adalah napasku. Jika sehari saja kulalui tanpa dakwah, maka aku akan gelisah. Bagaikan dibungkam napas ini. Sesak, dan aku pun berontak!”
Terbuka itu Melegakan
Memang benar jika dikatakan bahwa mabda (ideologi) itu akan selalu menuntut pengembannya untuk menyebarkannya. Apalagi jika mabda tersebut adalah mabda kebenaran, yang berasal dari sang Maha Benar. Itulah Islam. Begitupun aku. Sejak mengkaji ilmu agama, aku selalu ingin menyampaikan apa yang aku dapatkan tersebut kepada orang lain, terutama orang-orang yang kusayangi. Ayah, Ibu, Kakak, mereka lah orang-orang yang pertama kali harus rela meluangkan waktunya untuk mendengarkan ‘ocehan’ Islami dariku.
“Ibu, adik jadi aneh gara-gara ikut ngaji,” teriak kakak mengadu pada ibu, setelah berdebat denganku tentang pacaran.
“Sudahlah, pakai celana saja biar ngga ribet saat dibonceng naik motor,” bentak Ayah jengkel.
“Para tetangga membicarakan tentang pakaianmu,” keluh ibu dengan wajah murung.
Itulah berbagai respon keluargaku di masa-masa awalku ngaji. Namun, semua itu tak menyurutkan semangatku untuk terus mengkaji ilmu Allah. Kenapa? Karena aku yakin, walaupun mereka keluargaku tetapi mereka tidak akan mampu membelaku di hadapan Allah nanti. Karena kewajiban menuntut ilmu agama adalah fardhu ‘ain, maka pertanggungjawabannya tidak dapat diwakilkan, bahkan oleh orang tua sekalipun.
Bagaimanapun juga, keluarga berhak mengetahui segala aktivitas kita. Ketika ada masalah atau cacian yang menimpa kita, maka pastikan keluarga kitalah yang menjadi benteng pertama yang membela kita. Pastikan keluarga kita menjadi penyokong dakwah ini. Intinya adalah keterbukaan terhadap keluarga. Semua itu sudah kubuktikan, kawan! Baca lebih lanjut