Mubalighah Tolak MEA, Bahaya Bagi Kerusakan Generasi dan Keluarga


Malang- Mubalighah adalah tokoh penggerak umat. Ia diharapkan mampu membangun kesadaran politik umat, yaitu tentang bagaimana umat memelihara urusannya dengan syariat Islam. Dengan melihat peran strategis mubalighah inilah, maka Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (MHTI) DPD II Malang Raya menyelenggarakan acara Liqo’ Muharram Mubalighah pada Ahad (30/11). Acara yang bertempat di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Zamzam Polowijen Malang ini, mengangkat tema “Pasar Bebas Menghancurkan Keluarga dan Generasi, Selamatkan dengan Khilafah”. Tujuan acara ini adalah menyadarkan umat tentang bahaya pasar bebas yang sebentar lagi akan diterapkan atas nama Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Dalam acara ini hadir dua pemateri dari kalangan mubalighah yang sekaligus merupakan aktivis MHTI, yaitu ustadzah Najmah Millah dan ustadzah Siti Fatimah. Materi pertama disampaikan oleh ustadzah Najmah Millah, dengan tema pembahasan “MEA, Sarana Penjajahan Rezim Pasar Bebas”. Materi ini menyoroti tentang dampak MEA terhadap generasi, keluarga dan perempuan. Ustadzah Najmah Millah mengawali penjelasannya dengan mengungkapkan bahwa MEA sejatinya merupakan strategi AS untuk menguasai ASEAN dan dunia.

“Di Asia Pasifik ada kekuatan baru yaitu China. Hal ini menjadikan AS khawatir bahwa Asia dikuasai China, sehingga AS membuat aliansi di kalangan ASEAN,” ungkapnya.

MEA akan dijalankan melalui empat elemen utama, yaitu bebas barang, bebas jasa, bebas investasi, dan bebas tenaga kerja terampil. Dua ciri yang paling menonjol dari MEA adalah adanya pengurangan atau bahkan penghilangan campur tangan pemerintah dalam perdagangan, serta penghilangan hambatan pasar dan investasi. Dalam agenda MEA ini, peran negara maju adalah sebagai penentu kebijakan dan regulasi serta menjadi pihak yang menyiapkan tenaga profesional, modal, dan investasi. Sedangkan negara berkembang hanya akan dijadikan sebagai konsumen utama.

“Pasar bebas akan menimbulkan persaingan bebas, yang selanjutnya akan memunculkan kesenjangan ekonomi dan berdampak pada semakin bertambahnya jumlah angka kemiskinan,” jelasnya.

Ustadzah Najmah Millah juga menjelaskan bahwa dengan adanya MEA maka barang dan jasa dari luar negeri semakin banyak yang memenuhi pasar domestik. Padahal perempuan merupakan konsumen utama barang dan jasa. Hal ini akan mendorong perempuan untuk turut bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Apalagi kondisi lapangan kerja saat ini lebih banyak membuka kesempatan bagi kaum perempuan. Sebaliknya, lapangan kerja bagi laki-laki semakin kecil. Hal ini menjadikan banyaknya perempuan (ibu) yang bekerja di luar, sedangkan laki-laki (suami) justru sulit mendapatkan pekerjaan. Ketika seorang ibu lebih disibukkan bekerja di luar, maka ia tidak sempat lagi untuk mengurusi anak-anaknya. Akibatnya, anak-anak banyak yang terlantar, generasi kehilangan idealisme, dan hal ini lambat laun akan mengantarkan pada kehancuran keluarga.

Selanjutnya, materi kedua disampaikan oleh ustadzah Siti Fatimah, dengan tema pembahasan “Khilafah Mewujudkan Kesejahteraan Tanpa Pasar Bebas”. Dalam materi ini dijelaskan bahwa pasar bebas terlahir dari sistem ekonomi liberal dan bertentangan dengan aturan atau konsep perdagangan internasional dalam Islam. Ustadzah Siti Fatimah kemudian menjelaskan secara gamblang tentang konsep sistem perdagangan di dalam Islam yang ternyata sangat berbeda dari konsep pasar bebas yang diusung oleh kapitalisme. Strategi dalam sistem perdagangan Islam mampu menciptakan kemandirian dalam negeri dan memutus ketergantungan dengan asing.

Selain itu, sistem ekonomi Islam mampu mendorong laki-laki untuk bekerja, karena kewajiban nafkah ada di pundaknya. Laki-laki (suami) menjadi mudah untuk mencari nafkah, sehingga perempuan (ibu) tidak perlu turut bekerja di luar. Hal ini mampu menjadikan perempuan lebih fokus pada tugas utamanya sebagai ummun wa rabbatul bait. Sehingga akan terbentuk keluarga tangguh, sakinah mawaddah warahmah, yang mampu melahirkan dan mencetak generasi terbaik. Ustadzah Siti Fatimah juga mengingatkan bahwa konsep Islam ini hanya bisa diimplementasikan dalam institusi negara yang bernama khilafah.

“Maka mubalighah diharapkan mampu mengembangkan jaringan untuk semakin menyebarkan gagasan syariah Islam kaaffah dan khilafah ke tengah umat,” jelasnya.

Para peserta terlihat sangat antusias dalam menanggapi pemaparan materi yang disampaikan. Dari peserta yang bertanya, seluruhnya mengungkapkan kesepakatannya terhadap apa yang disampaikan oleh kedua pemateri.

“Hendaknya kita menjadikan khilafah sebagai satu titik yang dituju, dan MEA sebagai salah satu penghalang menuju titik tersebut,” ungkap salah satu mubalighah, ustadzah Titik, menyampaikan dukungannya.

“Di pondok pesantren jarang ada penjelasan tentang sistem khilafah, lalu bagaimana kita menjelaskan kepada para santri?” tanya ustadzah Supardi.

Selain itu, beberapa peserta juga menanyakan tentang kontribusi mereka dalam menghadapi MEA. Seperti ibu Wiwin yang menanyakan tentang cara penyampaian MEA kepada anak didik (siswa). Juga ibu Siti yang menanyakan tentang apa yang harus dilakukan oleh ibu rumah tangga dalam menghadapi MEA. Semua pertanyaan tersebut telah dijawab tuntas oleh kedua pemateri.

Pada penghujung acara Liqo’ Muharram Mubalighah ini dibacakan press release oleh ustadzah Astri Mumtazah dari Lajnah Khossoh lil Muballighoh (LKM) MHTI Malang Raya. Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan pernyataan mubalighoh oleh ustadzah Maslihah. Pernyataan tersebut berisi penolakan terhadap MEA dan dukungan terhadap perjuangan penegakan khilafah. Selanjutnya, acara ditutup dengan doa yang dipimpin oleh ustadzah Muthi’. Acara diakhiri pada pukul 12.00 WIB dan dilanjutkan dengan shalat Dhuhur berjamaah. [LI MHTI Malang]

Tinggalkan komentar